Kritik Keras Pemkab Tanjab Barat Terkait Pajak ASN, HMI: Terkesan dipaksakan

Thehok.id – Pemerintah Kabupaten Tanjab Barat baru-baru ini telah mengeluarkan surat imbauan tentang zakat profesi/penghasilan. Dengan adanya aturan tersebut, maka gaji ASN akan langsung dipotong untuk zakal maal. Aturan tersebut pun langsung menuai polemik. Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) Tanjab Barat juga ikut menyoroti dan mengkritik tajam aturan tersebut.

Kebijakan terkait zakat maal tersebut tertuang dalam Surat Imbauan dengan Nomor: 400/731/KESRA/2022 tertanggal 7 April 2022 tentang adanya zakat profesi/penghasilan.

Menurut Muhammad Luqman, Ketua Umum HMI Cabang Tanjab Barat, dengan aturan tersebut, maka pembayaran zakat ini terkesan dipaksanakan. Pemkab juga tidak melihat lagi kondisi ASN yang gajinya dipotong.

“Yang saya ingin tekankan dalam soal Zakat Profesi ini adalah jangan sampai adanya unsur terpaksa/paksaan didalam mengeluarkan zakat profesi ini, karena kita sama-sama tidak punya pengetahuan tentang bagaimana kehidupan yang dijalani oleh setiap orang, yang mungkin terbebani dengan kebijakan tersebut,” katanya, Minggu (17/4/2022).

Baca juga : Pelaku Pembunuhan di Tebo Berhasil Ditangkap

Dijelaskan Luqman, definisi zakat maal adalah segala sesuatu yang diinginkan oleh manusia untuk dimiliki, dimanfaatkan juga disimpan. Hal inilah yang kemudian perlu dikeluarkan zakatnya jika sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Adapun syartanya adalah harta itu milik penuh dan bukan milik bersama, berkembang atau punya potensi bertambah atau berkurang, cukup nisabnya, cukup haulnya atau sudah satu tahun, lebih dari kebutuhan pokok dan bebas dari hutang.

Sementara terkait rukunnya, binatang ternak, emas dan perak, harta perniagaan, hasil pertanian, hasil laut, dan hasil bumi, serta harta rikaz.

“Terkait dengan Zakat Profesi, ialah zakat yang dikeluarkan berdasarkan harta yang didapat oleh seseorang karena dia mendapatkan penghasilan dari pekerjaan yang digelutinya dan zakat profesi ini masih banyak diperselisihkan oleh ulama dimasa sekarang baik tentang keberadaanya ataupun tentang aturan-aturan dan berbagai ketentuanya,” jelas Luqman.

Mengutip dari Kitab Ensiklopedi Zakat oleh Syaikh Muhammad Shalih al- Utsaimin, Luqman menjelaskan bahwa zakat gaji bulanan hasil profesi bisa dikeluarkan apabila gaji bulanan yang diterima oleh seseorang tiap bulannya dinafkahkan untuk memenuhi hajatnya sehingga tidak ada yang tersisa sampai bulan berikutnya, maka tidak ada zakatnya. Karena diantara syarat wajibnya zakat pada suatu harta adalah sempurnanya haul yang harus dilewati oleh nishab harta itu. Jika seseorang menyimpan uang nya misalnya setengah gajinya dinafkahkan dan setengah nya disimpan, maka wajib atasnya mengeluarkan zakat harta (uang) yang disimpannya setiap kali sempurna haulnya.

Selain itu, Muktamar Zakat di Kuwait pada tahun 1984 mengasilkan sebuah pandangan bahwa pengasilan yang diperoleh dari hasil profesi, menurut mayoritas anggota Muktamar adalah tidak ada zakatnya ketika menerima gaji, namun digabungkan dengan harta-harta lain miliknya sehingga mencapai nishab dan haul lalu mengeluarkan zakat untuk semuanya ketika mencapai Nishab.

Ditambahkannya, Syeikh Bin Baz juga berpandangan jika zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci. Bila gaji telah diterima lalu berlalu 1 tahun dan telah mencapai satu nishab maka wajib diizakati. Adapun bila gajinya kurang dari 1 nishab atau belum berlalu 1 tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib di zakati.

Baca juga : Korban Tenggelam di Merangin Ditemukan Tak Jauh Dari Tempat Kejadian

Namun jika mengacu pada pandangan mayoritas ulama Indonesia, bahwa zakat Profesi wajib dikeluarkan jika pendapatannya setara dengan 85 gram Emas per tahun atau sekitar Rp 77.350.000 per tahun atau dengan penghasilan sekitar Rp 6.445.000 per bulan. Sedangkan berdasarkan UU Zakat No : 23 Tahun Tahun 2011 pasal 4 (4) menyebutkan bahwa syarat dan tata cara perhitungan zakat maal dan zakat fitrah dilaksanakan dengan sesuai syariat Islam, yang pada dasarnya Islam tidak pernah membebani seseorang melebihi batas kemampuannya dan tidak perlu adanya paksaan.

“Jalan tengahnya saya fikir adalah sebagaimana yang di ungkapkan oleh seorang ulama besar pada abad ini, Dr. Yusuf al- Qardawi dalam kitab nya Fiqhuz-Zakah, bila pendapatan seorang sangat besar dan kebutuhan dasarnya sudah sangat tercukupi, wajar bila ia mengeluarakan 2,5 persen langsung dari pemasukan kotornya. Sebaliknya bila pemasukannya tidak telalu besar sementara kewajban untuk menafkahi keluarganya lumayan besar, maka tidak mengapa dia menunaikan dahulu segala kewajiban nafkahnya sesuai dengan standar kebutuhan dasar, setelah itu barulah sisa pemasukannya dizakatkan sebesar 2,5 persen kepada amil zakat,” terangnya.

“Jangan sampai kita memaksa orang untuk mengeluarkan zakatnya sementara mereka sedang mengalami kondisi hidup yang sulit, itu zalimm namanya. Lebih baik persoalan zakat profesi ini diserahakan pada masing-masing individu yang telah memenuhi kriteria sesuai dengan syariat,” tambahnya. (die)

Komentar