Pengalaman Pertama Terbang dengan Kelas Bisnis Singapore Airlines

Gara-gara baca blog Derek Low ini, saya jadi punya cita-cita sesekali mencoba terbang first class. Atau business class dulu lah. Kesempatan untuk mencoba kelas penerbangan di atas kelas ekonomi datang ketika saya mencari tiket pulang dari Singapura ke Surabaya.

Saat shopping trip ke Changi airport dengan tujuan menghabiskan voucher seribu dolar, saya tidak mau keluar uang banyak untuk beli tiket pesawat sendiri. Dari Surabaya ke Singapura saya naik Jetstar gratisan hasil menukar poin Skywards Emirates. Sementara pulangnya, saya naik Singapore Airlines, dengan menukar poin Krisflyer yang saya punya dari perjalanan (menang lomba juga) ke New Zealand tahun lalu.

Dari tiket SQ Jakarta – Christchurch via Singapura yang disponsori oleh Tourism New Zealand, saya menabung poin sebesar 11.548. Kalau mau ditukar tiket SQ ekonomi SIN-SUB sebenarnya sudah cukup, malah sisa karena hanya perlu 7.500 poin. Itu pun kalau booking online mendapat diskon 15%, jadi tinggal menukar 6.375 poin saja. Tapi saya pikir-pikir kalau ada sisa poin mau buat apa? Kenapa nggak sekalian pesan tiket bisnis saja?

Ternyata tiket business class SQ untuk rute tersebut perlu 17.500 poin. Diskon 15% untuk pemesanan online menjadi 14.875. Poin saya nggak cukup, masih kurang 3.327 poin. Tapi The Emak yang pinter ini tidak menyerah. Di website SQ sebenarnya diberi pilihan untuk top up poin seharga USD 40 per blok (1000 poin). Tapi tentunya saya ogah kalau harus bayar kemahalan. Intip-intip poin dari kartu kredit, ternyata ada banyak dan ternyata lagi bisa ditukar menjadi Krisflyer Miles (sebelum ini cuma saya tukar ke Garuda Miles). Untuk 1 Krisflyer saya harus menukar 7 poin kartu kredit. Jadi kalau perlu 3.327 poin KF perlu menukar 23.289 poin credit card. Tenang, poinnya masih banyak kok. Penukarannya juga gampang, tinggal log in di akun kartu kredit dan pilih penukaran rewards dengan miles. Dalam dua hari poin kartu kredit sudah ditransfer menjadi Krisflyer. Yay! Kesampaian naik kelas bisnis meski cuma short haul, penerbangan singkat 2 jam 25 menit.

Menukarkan poin Krisflyer dengan tiket bisa dilakukan online, bahkan pembayaran pajaknya pun bisa langsung di sana. Setelah log in ke akun KF, pilih book a flight –> centang pilihan redeem award flight. Nantinya penerbangan yang kita pilih akan dihargai dalam poin KF. Pajak untuk penerbangan saya ini sebesar SGD 108,90 atau sekitar satu juta rupiah (sudah termasuk airport tax di Changi). Memang harus pakai modal sih, tapi hitungannya murah banget karena harga asli tiket bisnis SIN-SUB ini SGD 1.311 atau dua belas jutaan rupiah. Whiiii…

Pertimbangan lain memilih business class, saya perlu memakai lounge SQ untuk menginap di bandara. Lumayan kan menghemat budget penginapan. Hotel di Singapura kan mahal-mahal. Sebelum memesan tiket, saya sudah cek dulu apakah mereka bisa early check in, ternyata bisa sampai 48 jam sebelum penerbangan. Jadi untuk penerbangan saya hari Minggu jam 07.50 pagi, saya sudah bisa cek in Sabtu malam sekitar jam 9. Koper saya yang isinya ransel dan cokelat bisa masuk bagasi. Jatah kelas bisnis sebenarnya sampai 40kg, tapi tas saya cuma 8 kg doang. Oh, iya, saya sempat nyasar antre cek in di economy class, udah kebiasaan, hahaha.

Begitu mendapat boarding pass, saya masuk lagi ke area transit lewat imigrasi. Petugas hanya tersenyum dan bertanya, “Pulang?” Pokoknya petugas nggak akan rewel kalau kita punya tiket keluar dari situ, meski pesawat baru terbang esok harinya. Saya lanjut berbelanja dari jam 9 sampai tengah malam.


Ketika voucher seribu dolar sudah habis dan perut mulai keroncongan, saya mencari-cari lounge SQ. Ternyata lounge mereka ada di atas Enchanted Garden di T2. Ada dua pilihan lounge: SilverKris Lounge dan Krisflyer Gold Lounge. Yang pertama untuk yang punya tiket Suites, First atau Business Class SQ. Lounge kedua untuk member Krisflyer Gold yang punya tiket ekonomi SQ. Saya masuk ke SilverKris yang fasilitasnya lebih lengkap termasuk tempat mandi.

Karena lapar, saya berusaha cari makan di buffet. Tapi karena sudah tengah malam, sajiannya sudah banyak yang habis dan pilihannya tidak menarik. Mau tanya ini itu ke pelayan kok nggak ada yang kelihatan. Akhirnya saya cuma ngemil sandwich timun dan minum jus apel, ditemani mainan baru saya.

Setelah perut terisi, saya mulai mencari-cari kursi dengan posisi strategis yang dekat colokan. Malangnya, tidak semua kursi dekat colokan, dan tidak ada colokan yang ada konektornya. Bayangan saya, seharusnya di semua lengan kursi ada colokan universalnya, seperti yang saya lihat di dekat kolam koi di T3. Tapi mungkin karena lounge ini di T2, belum ada perombakan fasilitas seperti di gedung terminal yang lebih baru. Saya akhirnya pinjam konektor dari petugas karena konektor yang saya bawa sudah terlanjur masuk ke bagasi (pinter!). 

Ketika menemukan kursi dekat colokan di pojok, ada pelayan lelaki tua yang menghampiri saya. “You rest here? I bring pillow.” Begitu katanya dengan bahasa Inggris patah-patah. “Oh, yes, please, thank you,” sahut saya cepat. Si Paman kembali dengan bantal dan selimut Givenchy. Dia mengisyaratkan agar saya mendekatkan dua kursi untuk menjadi flat bed yang nyaman. Alhamdulillah, tubuh saya yang mungil ini bisa muat di dua kursi tanpa tertekuk-tekuk. Saya bisa tidur nyaman sampai jam empat pagi.

Setelah jam empat, lounge mulai ramai oleh orang-orang bisnis beneran yang memakai jas, bersiap-siap untuk penerbangan pagi mereka. Saya sudah nggak mungkin tidur lagi. Mending mandi dulu biar seger. Toilet di lounge ini kelihatan lebih mewah dan lebih wangi daripada toilet biasa yang memang sudah bersih banget di Changi. Di tiap wastafel disediakan sikat gigi, pasta gigi, mouthwash dan sisir. Kamar mandinya pun super mewah, seperti fasiltas di hotel bintang lima. Sabun, shampo dan handuk bersih disediakan. Saya sampai keasyikan mandi pakai pancuran air panas. Capek-capek karena belanja semalaman langsung hilang.

Selesai mandi, saya mampir wastafel untuk mengambil foto. Eh sepertinya kok ada pelayan yang menyelinap untuk membersihkan kamar mandi yang barusan saya pakai. Mungkin memang harus cepat dibersihkan agar bau-bau orang proletar lenyap seketika, hahaha.

Keluar dari toilet, saya disambut bau masakan yang harum menguar. Para koki dan pelayan wira-wiri menyiapkan sarapan. Ada banyak pilihan yang lebih enak daripada roti mentimun. Saya pilih fish congee (bubur ikan) dan poached egg. Saya nggak makan banyak-banyak karena nanti masih ada sarapan kedua di pesawat 🙂

Setelah sempat chatting sebentar dengan Si Ayah yang masih sibuk packing untuk terbang ke alor, saya memutuskan untuk keluar dari lounge. Di setiap terminal Changi ada prayer room yang cukup nyaman dan bersih, buka 24 jam. Tempat wudhu laki-laki dan perempuan juga dipisah. Waktu di Singapore sama seperti WITA, lebih maju satu jam dari WIB, meski posisinya sejajar dengan WIB kita. Jadi jadwal salatnya agak aneh, jam 6 pagi baru masuk waktu subuh.

Sekitar jam 7.20 pagi, kami sudah mulai boarding. Pemeriksaan keamanan cepat dan efisien. Di Singapore, setiap alat elektronik atau gadget harus dimasukkan ke dalam baki sendiri dan diberi nomor. Jadi kalau kita bawa 1 laptop, 1 tablet dan 1 ponsel, akan diberi tiga tiket (nomor). Tapi nggak usah khawatir urusan beginian, asal menurut saja sama petugas. 

Penumpang kelas bisnis dan anggota PPS Club disilakan untuk masuk ke pesawat terlebih dahulu. Saya pun lenggang kangkung sambil senyam-senyum. Begitu sudah dekat ke petugas, saya mengulurkan paspor dan boarding pass. Saya dengar petugas di gate sebelah bisik-bisik, “This is business class first, right?” Tunggu, emangnya tampangku gak meyakinkan ya jadi penumpang kelas bisnis? *sensi* :p   

Enchanted garden lebih cakep kalau difoto dari atas, depan SQ lounge.

Ketika cek in malam sebelumnya, saya meminta kursi yang sebelahnya kosong. Petugasnya mengabulkan, dengan catatan nggak ada jaminan kursi tersebut kosong sampai besok pagi. Eh ternyata satu ruas belakang kelas bisnis kosong semua. Pramugari bercanda kalau saya boleh pilih duduk di manapun, pindah-pindah juga boleh. All mine 😀 Sebenarnya saya pilih kursi sendirian biar gak malu-maluin kalau cengar-cengir sendiri. Maklumlah, pengalaman pertama di business class, kelihatan banget kalau norak-norak bergembira. Saya juga pengen bebas motret-motret tanpa rikuh.


Tahu kalau saya motret-motret, Si Mbak pramugari menawari memfoto saya. Jadi tongsis alias ‘tolong, Sis’. Saya cuma minta difoto sekali saja di kursi sendiri. Si Mbak masih mau motretin yang lainnya lagi, tapi saya kan orangnya pemalu 😀 Lagian dari sudut manapun bakalan begini-begini aja jadinya.

Pesawat yang digunakan di rute ini Airbus A330-300. Di kelas bisnis ini ada 30 kursi dengan formasi 2-2-2, jadi ada lima baris. Desain kursinya masih yang jadul, belum ada refurbishment. Tapi itu aja saya sudah senang. Pramugarinya ada lima, jadi saya punya pramugari privat sebenarnya, hahaha. Pramugari membantu saya menaruh tas saya di atas. Tadinya saya tanya apa tas saya yang isinya gawai dan kamera bisa saya taruh bawah tempat duduk saja. Si Mbak dengan tersenyum manis bilang, “Sorry, not for this aircraft.” Nganu, ternyata kalau di kelas bisnis harus disimpan di atas semua. Gawai, kamera, dompet, buku, paspor dan alat tulis bisa disimpan di kompartemen di depan atau di lengan kursi. Ketahuan deh baru pertama kali naik bisnis 😉


Selanjutnya saya sibuk mengatur tempat duduk saya agar nyaman. Ruang kaki di depan tempat duduk luas banget. Bahkan ketika kaki saya julurkan, nggak nyampai ke kursi di depannya kalau saya nggak memerosotkan diri. Ini memang kabinnya yang lapang atau sayanya yang pendek ya? Kaki saya pun nggak bisa menyentuh tanah. Untungnya bisa ditopang dengan menyetel sandaran kaki bagian bawah. Jadi meskipun menggantung tetap terasa nyaman. Tinggal mencet-mencet tombol kok.

Sesudah nyaman, saya menunggu pesawat tinggal landas. Mungkin di kelas ekonomi masih pada ribut naruh tas kabin ya? Pramugari menawari saya jus jeruk, apel atau tomat. Saya pilih nyobain jus tomat yang ternyata segar sambil baca-baca majalah travel dan window shopping di katalog KrisShop. Sambil dengerin album baru Taylor Swift. Tadinya saya bingung cari colokan untuk headset saya. Biasanya kan di lengan kursi tuh? Kalau di kursi bisnis colokan headset ada di samping sandaran kursi, ehehe.


Pesawat berhasil lepas landas dengan mulus. Setelah tanda sabuk pengaman boleh dilepas, sarapan mulai dihidangkan. Ini yang saya tunggu-tunggu, pengen merasakan makan pakai piring dan gelas beneran, hahaha.

Untuk kelas bisnis, kita bisa memesan makanan spesial lewat ‘Book The Cook’. Menu sarapan pilihannya lebih terbatas daripada menu makan siang atau makan malam. Saya pengen nasi lemak ala chef. Tapi di sini tidak ada keterangan halalnya. Saya tanyakan via email ke mereka dan dijawab oleh kepala kateringnya via telpon langsung. Nasi lemak dan nasi biryani mereka halal, dimasak di dapur khusus. Alternatif lain untuk memastikan mendapatkan makanan halal adalah dengan memesan moslem meal (kategory religious meal). 

Pilihan masakan lain juga ada. Yang mau diet bisa pesan low fat meal. Pesan vegetarian meal pun bisa. Tapi yang paling menarik menurutku adalah yummy meal untuk anak-anak, hehe. Nggak tahu kalau orang dewasa boleh pesan makanan anak-anak apa enggak. Dulu waktu naik Emirates, Big A tidak bisa memesan makanan anak-anak karena usianya sudah lewat 12 tahun. Tapi itu kelas ekonomi…

Nggak pilih menu terlebih dahulu pun nggak papa kok sebenarnya. Pilihan sarapan untuk rute SIN-SUB ini sudah disesuaikan dengan lidah Indonesia. Kalau nggak pesan nasi lemak masih ada nasi uduk, hehehe. Pilihan makan siangnya, untuk rute SUB-SIN lebih menarik. Sarapan dihidangkan dengan roti dinner roll dan mentega yang enak banget. Ditutup dengan buah potong segar dan kopi sedep. Waktu saya pamer foto di path, adik saya @diladol komentar, “Penampakannya langit dan bumi dengan nasi lemak Pak Nasser.” Ya beda kelas kaleee 😀

Saya sarapan ditemani mas Ethan Hawke di film Before Midnight. Telat banget ya nontonnya?

Saya juga sempat mencoba toilet untuk kelas bisnis. Luasnya sama dengan toilet kelas ekonomi, hanya saja amenities-nya lebih bagus. Di toilet ini disediakan sikat dan pasta gigi, sisir rambut dan razor. Sabun cuci tangannya pakai L’occitane yang wangi banget. 

Penumpang kelas bisnis masih terus dimanjakan setelah pesawat mendarat. Kami bisa lebih dulu turun dari pesawat dan bagasi kami datang lebih dulu karena termasuk priority baggage. Jadi ya memang enak naik kelas bisnis. Jujur aja saya nggak bisa pencitraan naik kelas ekonomi kalau memang ada jatah kelas bisnis :)) 


Ada yang pengen nyoba (atau sudah pernah) naik business class juga? Atau malah punya pengalaman naik first class? Maskapai mana yang paling bagus?

~ The Emak
 

Baca juga:
Belanja Habis-Habisan di Bandara Changi
Tempat Nongkrong Paling Asyik di Bandara Changi 

Terbang ke Singapura dengan Tiket Jetstar Gratisan
Terbang Ke New Zealand Dengan Singapore Airlines

Komentar